Monumen Radio Rimba Raya
Sejarah Radio Rimba Raya
Selasa, 8 April 1987 M, bertepatan dengan 9 Syakban 1407 H,
Letjend (Purn) Bustanil Arifin, SH dan Mayjend (Purn) AR Ramly mencetuskan ide
Bireuen Kota Juang (baca: Sejarah kota juang). Kemunculan ide ini bukanlah
tanpa sebab, melainkan dukungan sejarah petempuran pemberitaan yang layak
diberi apresiasi.
Dalam suasana vakum, sekitar pukul 14.00 setempat, tanggal
19 Desember 1948, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jakarta) Dr Beel
memprovokasi dunia bahwa Repulik Indonesia (RI) sudah collapse (tumbang).
Sementara Itu, dua puluh pesawat terbang Belanda telah menguasai lapangan
terbang Maguwo sejak pagi di hari yang sama. Dr Beel menginstruksikan
pengeboman dan penghancuran semua lapangan terbang angkatan udara Republik
Indonesia (AURI) serta semua pemancar radio Republik Indonesia (RRI) yang berada
di setiap ibu kota propinsi, di seluruh Indonesia.
Akibatnya, hampir satu pekan lamanya angkasa RI sepi informasi, tanpa komunikasi. Tiada pemberitaan yang membela keberadaan Indonesia, negeri baru berusia kurang lebih tiga tahun. Pasukan RI kala itu tiarap tanpa serangan balasan, melakukan konsolidasi, dikarenakan serangan Belanda dilaksanakan mendadak tanpa pemberitahuan.
Padahal, konflik RI-Belanda sedang berada dalam status
gencatan senjata. Serangan ala NAZI Jerman ini cukup menjadikan situasi berubah
seketika dan menguntungkan pihak Belanda dalam upaya kembali ke negeri jajahan.
Untuk mendampingi petempuran fisik dengan persenjataan, Belanda menggiring
pertempuran dalam wujud lain yang tak kalah dahsyatnya. Serangan isu melalui
“Radio Batavia” di Jakarta dan “Radio Hilversium” di Holland memperkuat posisi
politik mereka dalam sepekan.
Namun tanpa diduga, Bireuen Kota Juang Kontribusi Rimba Raya
bantahan dari “Radio Rimba Raya” mengejutkan banyak pihak dan cukup telak
mematahkan semangat kaum kolonial itu. Penggiringan pertempuran ala psy war
(perang urat syaraf) ternyata mampu ditandingi oleh “Rimba Raya”.
Isu kevakuman pemerintahan RI yang telah dikumandangkan
semakin mendorong nafsu Dr Beel untuk mengumumkan ke masyarakat dunia bahwa
Republik Indonesia sudah collapse, karena Yogyakarta, ibu kota RI telah
diduduki Belanda di samping pemimpin negeri, Soekarno dan Hatta telah ditawan.
Pemimpin Belanda itu menutup mata, seakan tak melihat bahwa Aceh sejak agresi
militer I, 21 juli 1947 hingga agresi militer II pada 19 Desember 1948 tidak
pernah tersentuh oleh kekuatan militer Belanda.
Tersirat ketidak-beranian Belanda menyerang Aceh harus
diimbangi dengan perang propaganda. Membingungkan Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) Sekitar pukul 06.00, subuh keesokan harinya, tanggal. 20 Desember 1948,
suara perlawanan menggelegar dari daratan tinggi Gayo, Aceh Tengah. Suara radio
“Rimba Raya” menayangkan bantahan kepada Dr Beel yang sedang bermimpi.
“Dengarkan Dr Beel, Saya di sini, Gubernur Militer Propinsi Aceh, Langkat,
Tanah Karo, Teungku Muhammad Daud Beureueh mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa
Negara Republik Indonesia kini masih tegak dengan kokoh, merdeka dan berdaulat.
Tidak ada seorang Belandapun yang berani mendekat ke Tanah
Rencong”, ungkap pemimpin Aceh itu. Perseteruan udara antara dua pemimpin
bangsa mengubah situasi ketika itu.
Sekjen PBB sempat terprovokasi karena para diplomat Belanda
di PBB cukup gesit mendesak Dewan Keamanan (DK) mengadakan sidang untuk
memutuskan situasi politik bangsa penjajah itu di negeri bekas jajahannya.
Sedianya Belanda bermaksud, mulai hari Ahad jam 12.30, pada 19 Desember 1948
nama Republik Indonesia sudah dihapuskan dari peta politik dunia. Reaksi keras
juga muncul melawan pernyataan Dr Beel tersebut, terutama dari negara-negara
Timur-Tengah, Asia, Amerika, Australia, Mesir, Maroko, serta dari Sekjen PBB
sendiri, Trigve Lie. Namun minimnya peralatan, khususnya prangkat komunikasi,
turut mempersulit informasi Indonesia di luar negeri.
Provokasi Belanda yang pada mulanya merebak seantero dunia,
pupus seketika. Respon negara-negara pendukung eksistensi Indonesia diperkuat
dengan siaran Rimba Raya”. Akhirnya tak terbantahkan, dari dalam negeri reaksi
paling keras bermula di tanah rencong,lewat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan
Tanah Karo, Jenderal Mayor Tgk M Daud Beureueh, yang dipancarkan radio perjuangan
“Rimba Raya” di Takengon, Aceh Tengah. Setelah menuai protes, bahkan counter
dari Gubernur Militer Aceh tentang isu keliru Dr Beel, maka delegasi Indonesia
di PBB, L.N Palar bersama Menteri H Agus Salim, leluasa mengadakan aksi-aksi
jitu yang mampu membela dan menyelamatkan kepemimpinan Dwi Tunggal
Soekarno-Hatta dari berbagai rivalitas.
Percaturan politik dalam dan luar negeri meruncing,
lika-liku diplomasi seru melibatkan RI-Belanda semakin dibicarakan di dunia
internasional. Sementara, rivalitas antara Soekarno–Hatta kontra Syahrir-M
Natsir juga menyerap banyak enerji. Di samping banyak alasan lain, situasi
politik yang kusut ini mengantarkan delegasi RI – Belanda menggelar Konferensi
Meja Bundar (KMB), akhir tahun 1949 di Den Haag, Belanda.
Radio Rimba Raya yang telah menciptakan perjalanan sejarah
Indonesia itu mula-mula ditempatkan di Krueng Simpo, 20 km dari Bireuen.
Setelah beberapa saat beroperasi, radio ini dipindahkan ke Cot Gue, Banda Aceh
dengan signal calling resmi "Radio Repoeblik Indonesia Koetaradja".
Pemindahan ini atas dasar perintah langsung Gubernur Militer Aceh, Tgk M Daud
Beureueh. Pemancar radio perjuangan ini berperan aktif dalam menyiarkan berita
serta pesanpesan revolusi ke seluruh pelosok tanah air dan ke luar negeri.
Dalam perjalanannya, ternyata di pegunungan Cot Gue pun
pemancar ini tidak aman. Akhirnya diperintahkan lagi untuk diamankan ke
pegunungan Rimba Raya yang terkenal strategis dan berhutan lebat. Muasal
perangkat radio itu sendiri merupakan hasil barter yang dikoordinir Mayor Osman
Adami melalui kegiatan dagang Atjeh Trading Company (ATC), dengan kekuatan 350
watt telegrafi dan 300 watt telefoni.
Daya jangkau siaran perangkat canggih masa itu hanya sampai
Singapura dan Malaysia. Dengan berbagai keterbatasan sumberdaya, Mayor (Laut)
John Lie berhasil menembus blokade Belanda seraya membawa pemancar radio
barteran. Pemasangan instalasi pemancar dilakukan pada tahun 1945 oleh seorang
Indo-Jerman, Schultz namanya.
Teknisi ini dibantu rekan Syayudin Arif, Hie Wun Fie yang
mahir berbahasa Cina. Di samping mereka ada lagi Chandra dan Abubakar yang
fasih berbahasa Urdhu. Tidak dengan mereka saja, tim diperkuat lagi oleh
Abdullah, sosok yang menguasai bahasa Arab dan Inggris. Jika tidak berlebihan,
Monumen Radio Rimba Raya merupakan asset sejarah yang luar
biasa jasanya. Sebagai benteng pertahanan dalam pertempuran psy war, sudah
selayaknya dilakukan napak tilas untuk menelusuri lokasi awal tempat instalasi
radio itu dipasang di Krueng Simpo, Bireuen.
Radio Rimba Raya dan Kisah yang Terlupa
Radio Rimba Raya Sejarah Radio Rimba Raya, ‘Republik Masih
Ada. Dan di Sini Aceh’ “Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik
masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah
republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.
Siaran itu disampaikan dalam berita singkat dari Radio Rimba
Raya pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Berita itu disiarkan
melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61
meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai negara tetangga
waktu itu.
Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri
Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB
itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener
Meriah.
Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan
berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948,
peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio
Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Gayo.
Keterangan beberapa tokoh yang berjasa mendirikan Radio
Rimba Raya yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul ”Peranan Radio Rimba
Raya” terbitan Kanwil Depdikbud Aceh, menyebutkan, begitu besarnya kiprah radio
perjuangan tersebut.
Dalam buku itu diceritakan, saat menyampaikan berita tentang
Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di
Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina)
bahkan Australia dan Eropa.
Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para
awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan
instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Siaran Radio Rimba Raya di
tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa
Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.
Dalam tempo enam bulan mengudara, radio ini telah mampu
membentuk opini dunia serta ”membakar” semangat perjuangan di tanah air, bahkan
keberadaan negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus
1945 diakui oleh beberapa negara manapun di dunia. Selain berita kemerdekaan
Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita
tentang kenduri akbar di Aceh.
Waktu itu Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak
dengan perwakilan RI di New Delhi. Berita-berita itu selain diterima langsung
oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India
Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.
Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal
20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang karena
banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri
konferensi tersebut.
Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan
acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang
dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi
politik Indonesia.
Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan
Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta
sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Sebelum ditempatkan di hutan Raya Bener Meriah, Radio Rimba
Raya sempat berpindah-pindah untuk memperoleh posisi yang tepat dalam
menyiarkan berita-berita dan pesan-pesan perjuangan.
Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di
desa ”Cot Gue”, delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya
dilakukan dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayong.
Pemancar di desa ”Cot Gue” dan Studio Peunayong, dihubungkan
dengan kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk
mengantisipasi bila sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.
Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena
terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang
genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan
pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius,
Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat
memancarkan siaran dengan baik.
Rencana pemasangan radio di desa Burni Bius itu ternyata
tidak dapat dilakukan, risiko yang sangat berat karena pesawat-pesawat Belanda
terus mengintai rombongan selama dalam perjalanan. Dengan mempertimbangkan
risiko yang mungkin terjadi, pemasangan radio akhirnya dialihkan ke Rimba Raya,
Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.
Dibantu Desertir Sekutu
Pemasangan radio rimbaya dilakukan oleh W Schult dengan
Letnan Satu Candra, Sersan Nagris keduanya berkebangsaan India, Sersan
Syamsuddin dan Abubakar berkebangsaan Pakistan serta Letnan Satu Abdulah
berkebangsaan Inggris. Mereka adalah tentara Inggris yang bergabung dengan
sekutu kemudian membantu perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Tenaga mereka sangat diperlukan terutama dalam penyiaran
berbahasa asing. Mereka membuat gubuk dan membangun radio itu sesuai dengan
keahlian masing-masing. Studio darurat itu dibangun diatas empat potong kayu
besar sebagai penyangga di bawah pohon kayu yang tinggi dan rindang dimana
disana di gantungkan antena type Y dan Type T yang diikat pada sepotong bambu.
Di gubuk itu juga mereka memasang beberapa pesawat Radio
penerima berita khusus dari telegrafie. Dengan menggunakan mesin diesel yang
ada, radio tersebut dimanfaatkan mulai pukul 16.00 Wib – 18 Wib. Radio itu juga
menggunakan beberapa bahasa dalam proses pelaksanaa penyiaran diantaranya
adalah Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India dan Pakistan
Madras.
Sementara disiang hari pelaksanaan penyiaran tidak dapat
dilaksanakan karena kondisi keamanan yang tidak mengizinkan. Adapun para
pejuang yang melaksanakan kegiatan penyiaran dan kegiatan lainya adalah sebagai
berikut: Kolonel Husin Yusuf sebagai Pimpinan TPRR dan Pemancar Radio. Teknik
Pemancar Radio, Abdulah. Teknik Listrik oleh Darwis dan M. Saleh. Protokol
penyiaran oleh Idris. Penyiaran dalam bahasa Indonesia Letnan Muda TRI Suryadi.
Penyiaran dalam bahasa Inggris oleh Abdullah (pelarian tentara sekutu dari
Medan). Penyiaran dalam bahasa Madras oleh Abubakar (pelarian tentara sekutu
dari Medan) penyiaran dalam bahasa Tionghoa oleh Wong Fie dari Bireuen.
Jasa Mayor John Lie
Untuk mendapatkan peralatan radio, Komando Tentera Republik
Indonesia Divisi Gajah-I dari Malaya (Malaysia) bekerjasama dengan raja
penyelundup Asia Tenggara, Mayor John Lie pada masa Agresi Belanda-I (21 Juli
1947).
Perangkat radio dan kelengkapannya itu diselundupkan dari
Malaysia melalui perairan Selat Melaka menuju Sungai Yu, Kuala Simpang, Aceh
Tamiang. Peralatan radio itulah yang kemudian dipakai dengan nama siaran Radio
Rimba Raya.
Menyeludupkan perelatan radio tersebut tidaklah mudah. John
Lie mengangkut dengan dua buah kapal kecil. Satu kapal berisi peralatan, satu
lagi berisi 12 tentara. Kapal yang berisi tentara tersebut bertugas mengelabui
patrol Belanda di Selat Malaka.
Agar peralatan radio Rimba Raya sampai ke perairan Aceh,
John Lie menjadikan kapal berisi 12 tentara sebagai umpan untuk mengalih
perhatian Belanda. Kapal dan ke-12 tentara itu pun tewas di tengah laut setelah
diserang patroli Belanda. Sementara kapal yang mengangkut peralatan radio
sampai ke Kuala Yu, Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut oleh Nukum Sanani
atas perintah Abu Daoud Beureueh.
Hanya Sebatas Monumen
Kini Radio Rimba Raya hanya tunggal kenangan. Jalan menuju
ke Tugu Radio Rimba Raya di Desa Rimba Raya Kecamatan Timang gajah tidak
terurus. Tugu itu kini hanya sebatas monumen bisu dengan loaksi sekelilingnya
yang tak terurus.
Butuh perhatian pemerintah untuk melestarikan salah satu
tonggak sejarah pending berdirinya republik ini. Sampai kini pembangunan sarana
dan prasarana tugu rimba raya masih sangat kurang dengan perawatan seadanya.
Ironsnya lagi tugu tersebut tanpa penerangan. Simbol perjuangan kemerdekaan itu
kini hanya sebuah tonggak sunyi di belantara gayo.
Sumber : radiorimbaraya.blogspot.com
kaloada.blogspot.com
kaloada.blogspot.com
UANG KECIL JADI UANG BESAR???MAU???
ReplyDeleteCUMA DI SUMOQQ YANG BISA!!!
WAKTUNYA BERGABUNG BERSAMA KAMI SUMOQQ.INFO
SITUS KARTU TARUHAN ONLINE TERPERCAYA DENGAN RATING KEMENANGAN TERTINGGI!!
BONUS TERBESAR!!!
MINIMAL DEPOSIT RP.15.000,-
MINIMAL WITHDRAW RP.15.000,-
MODAL MINIMAL HASIL MAXIMAL
BONUS REFERAL SEUMUR HIDUP(20%)
SETIAP 10HARI SEKALI
BONUS ROLLINGAN TERBESAR (0,5%)
SETIAP 5HARI SEKALI
TERSEDIA 8 PERMAINAN TERFAVORITE:
- . BANDARQ
- . ADUQ
- . BANDARPOKER
- . POKER
- . DOMINO99
- . CAPSASUSUN
- . SAKONG
- . BANDAR66
TRANSAKSI MUDAH DI 5 BANK BESAR :
- . BCA
- . BNI
- . BRI
- . MANDIRI
- . DANAMON
DILAYANI CS PROFFESIONAL 24JAM NONSTOP!!
CONTACT KAMI :
BBM : D8ACD825
WA : +855964973259
LINE : SUMOQQ88
WECHAT : SUMO99QQ
Kami Nantikan Kabar Baiknya Calon Jutawan! ^_^